sosiologi hukum


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Secara etimologis, Sosiologi berasal dari kata latin, Socius yang berarti kawan dan kata Yunani Logos yang berarti kata atau yang berbicara. Jadi Sosiologi adalah berbicara mengenai masyarakat. Bagi Comte, Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Sosiologi didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan sebelumnya.
Pitirim Sorokim mengatakan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (nonsosial).
Berbeda dengan pendapat Rouceke dan Warren yang mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan kelompok-kelompok.
Nah berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu Sosiologi dipelajari juga mengenai peran masyarakat terhadap hukum yang hidup di dalamnya, sumber hukum materiil dan beberapa fungsi hukum dalam masyarakat.
Dewasa ini, peranan hukum mempunyai kedudukan yang miris dan kurang berfungsi adnya. Hal ini terbukti dengan sudah tidak banyak diindahkannya peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat sendiri. Selain itu fungsi hukum sebgai sutu kekuatan atau power juga sudah seberapa di gubris. Contohnya banyak sekali aparat-aparat atau pejabat pemerintahan yang mempermainkan kedudukan hukum sehingga sudah tidak kuat lagi dan fungsi powernya sudah hilang.
Nah, oleh karena itu pada makalah ini, penulis akan mencoba menelisik kembali tentang fungsi-fungsi dari pada hukum tersebut dalam masyarakat sendiri. Sehingga diinginkan adanya suatu perubahan mendasar agar hukum di Indonesia mampu berjalan maksimal sebagaimana fungsinya
2. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini penulis batasi dalam hal:
1. Apakah dalam masyarakat selalu ada hukum?
2. Apakah sumber hukum itu terdapat dalam masyarakat?
3. Bagaimana eksistensi fungsi hukum sebagai Law Is Tool Social Engineering?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Ada Masyarakat, Maka Hukum Juga Ada
Manusia adalah makhluk yang mempunyai hasrat hidup bersama. Hidup bersama yang sekurang-kurangnya terdiri dari 2 orang. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri, Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah zoon politicon, yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainya. Dan karena sifatnya itu manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda. Dan dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling membantu untuk memperoleh keperluan kehidupannya. Kalau kepentingan tersebut selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai. Tetapi kalau tidak malah akan menimbulkan masalah yang mengganggu keserasian. Dan bila kepentingan tersebut berbeda yang kuatlah yang akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya.
Karena itu diperlukan suatu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut dengan norma. Dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna agar tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, memberi petunjuk bagaimana cara berperilaku dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan hukum dari kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan agar setiap individu masyarakat dapat hidup selaras.
Sehingga Tujuan hukum dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
Seperti yang manusia itu adalah makhluk yang bersifat sosial dan tinggal dalam kelompok masyarakat. Dengan berbagai macam individu yang tinggal dalam masyarakat, diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keseimbangan agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan masyarakat.
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
c. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum adalah alat untuk membuat masyarakat yang lebih baik.
d. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.

2. Sumber Hukum Itu Terdapat Dalam Masyarakat (Sumber Hukum Materiil)
sumber hukum dalam arti material, yaitu: suatu keyakinan/ perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan demikian keyakinan/ perasaan hukum individu (selaku anggota masyarakat) dan juga pendapat umum yang merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum. Kebiasaan atau Hukum tak tertulis
Kebiasaan (custom) adalah: semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulang kali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.

3. Hukum Itu Salah Satu Fungsinya Sebagai Law Is Tool Social Engineering
Sebuah perbincangan yang hingga kini tak juga kunjung putus adalah soal fungsi hukum dalam masyarakat. Di satu pihak orang meyakini kebenaran premis bahwa hukum itu tak lain hanyalah refleksi normatif saja dari pola-pola perilaku yang telah terwujud sebagai realitas sosial. Sedangkan di pihak lain orang masih banyak juga yang suka menteorikan bahwa hukum itu sesungguhnya adalah suatu variabel bebas yang manakala dioperasionalkan sebagai kekuatan yang bertujuan politik akan mampu mengubah tatanan struktural dalam masyarakat.
Pandangan yang disebutkan pertama adalah pandangan yang melihat hukum sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual akan melahirkan konsep hukum sebagai bagian dari elemen kultur ideal. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang melihat hukum benar-benar sebagai instrumen, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual akan banyak menghasilkan persepsi bahwa hukum adalah bagian dari teknologi yang lugas; atau meminjam kata-kata Rouscoe Poend, hukum itu adalah “tool of social engineering“.
Menurut Lawrence sebagaimana dikutip oleh Soetandyo, menyatakan bahwa Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara modern. Jeremy Bentham (dalam Soetandyo) bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun 1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan pengadilan
a. Pembangunan Hukum
Dewasa ini jumlah eksponen pendukung ide “law as a tool of social engineering” kian bertambah. Perkembangan yang disebut Geertz (dalam Soetandyo) sebagai perkembangan “from old society to new state” memang telah menyuburkan tekad-tekad untuk menggerakkan segala bentuk kemandeg-an dan untuk mengubah segala bentuk kebekuan, baik lewat cara-cara revolusioner yang ekstra legal maupun lewat cara-cara yang bijak untuk menggunakan hukum sebagai sarana perubahan sosial.
Menurut Soetandyo hal ini berimplikasi para banyaknya praktisi yang berminat untuk memikirkan strategi-strategi perubahan yang paling layak untuk ditempuh dan untuk merekayasa ius constituendum apa yang sebaiknya segera dirancangkan dan diundangkan sebagai langkah implementasinya. Sedangkan para teoritisnya banyak berminat untuk mendalami studi-studi tentang keefektifan hukum guna menemukan determinan-determinan (paling) penting yang perlu diketahui untuk mengfungsionalkan hukum sebagai sarana pembangunan.
Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua arti.
Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi
hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, definisi pembangunan hukum adalah “mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat”. Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
b. Manifestasi Rekayasa Sosial dalam Pembentukan Undang-Undang
Dalam salah satu artikelnya, Paramita menyatakan bahwa perundang-undangan ialah suatu gejala yang relatif kompleks yang proses pembentukannya melibatkan berbagai faktor kemasyarakatan lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan, sedangkan tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu pada tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Membentuk undang-undang juga berarti menciptakan satu sumber hukum yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban dari semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang tersebut.
Berbeda dengan pandangan Paramita, mazhab fungsional atau biasa disebut mazhab sosiologik hukum (sociology of law) melalui tokohnya Roscoe Pound (dalam Satjipto) yang berpendapat bahwa hukum itu lebih dari sekadar himpunan norma-norma yang abstrak atau ordo-hukum. Namun, hukum merupakan satu proses untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dan memberikan jaminan, kepastian kepuasan kepada keinginan golongan terbanyak dengan gesekan yang sekecil mungkin. Analogi dari pemahaman hukum yang demikian itulah yang oleh Pound disebutkan sebagai rekayasa sosial (social engineering).
Perlu diperhatikan juga sebelumnya bahwa suatu peraturan atau hukum baru dapat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat menurut teori Radbruch, yaitu secara filosofis dapat menciptakan keadilan, secara sosiologis bermanfaat dan secara yuridis dapat menciptakan kepastian. Sedangkan menurut Pound suatu undang-undang harus berfungsi sebagai “tool of social control “ dan “tool of social engineering”.
Sejalan dengan Pound, Prof. Max Radin sebagaiama dikutip oleh Mahendra, menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak hukum tidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (dalam Mahendra) menyatakan: “hukum didefinisikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara tertib.
c. Kritik terhadap pandangan “law as a tool of social engineering”
Walaupun para eksponen yang menyokong gagasan “law as a tool of social engineering” kini tercatat cukup mendominasi percaturan dan posisi kunci pembinaan hukum nasional, itu tidaklah berarti bahwa gagasan dan langkah-langkah operasional mereka dapat berkembang dan berjalan dengan tanpa kritik.
Kritik-kritik yang terlontar berdasarkan alasan ideologi dan atau paradigma moral yang sifatnya mutlak dan memihak—dalam kerangka penetapan kebijakan politik—memang sudah tak sekuat dulu lagi. Akan tetapi polemik dan diskusi tentang kedudukan dan fungsi hukum dalam tata kehidupan masyarakat yang makro ini bukannya telah tiada.
Menurut Soetandyo pembicaraan dan perbincangan tetap saja ramai untuk mempersoalkan apakah hukum dalam kenyataannya in concreto memang akan dapat merekayasa masyarakat dengan efektif manakala ia hanya terbit sebagai manifestasi—meminjam adagium kaum positivitis—”the command of the sovereign” (perintah yang berdaulat), dan tidak pernah mempertimbangkan dua soal berikut ini: Pertama, apakah sesungguhnya nilai-nilai moral dan kaidah-kaidah social yang dianut rakyat dalam kehidupan sehari-harinya; Kedua, sejauh manakah rakyat awam itu bersedia berbagi kesetiaan dan ketaatan, tidak hanya kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya sendiri yang informal tetapi juga kepada “the command of the sovereign” yang bergaya formal itu.
Soetandyo menambahkan mereka yang berpendapat bahwa hukum adalah sarana yang efektif untuk merekayasa masyarakat tentunya lebih condong untuk bersikap antisipatif pada perubahan-perubahan yang selalu terjadi. Mereka tanpa ayal akan bergerak merancang perubahan masa depan, dan akan menggunakan hukum sebagai model gambaran hubungan-hubungan antar subjek di masa depan yang harus direa lisasikan dengan tindakan-tindakan yang bersanksi. Maka di tangan mereka hukum akan berfungsi sebagai sarana untuk mendinamisasi perubahan, dan tidak (sekedar) sebagai sarana untuk mengontrol status-quo yang serba statik di dalam struktur.
Para pengritik ide “law as a tool of social engineering” umumnya menambahkan bahwa orang masih harus mempertanyakan, adakah cara yang dapat dianjurkan untuk mengubah referensi normatif rakyat, dari kecondongannya pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah setempat dan berwawasan ke masa lampau ke nilai-nilai dan kaidah-kaidah baru yang nasional dan berwawasan ke masa depan.
Bertolak dari semua itu terdapat satu hal penting yang perlu (harus) disadari sebagai suatu persoalan tersendiri atas asumsi dasar mengenai dalil “law is a tool of social enginereeng“, bahwa menurut von Savigny (dalam Soetandyo), sesungguhnya hukum itu tidak pernah bisa dibuat berdasarkan rasionalitas pikiran manusia yang disengaja. Hukum sesungguhnya selalu berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu penyikapan selanjutnya adalah bagaimana sesungguhnya “law is a tool of social engineering” harus kita tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigma rule of law

BAB III
KESIMPULAN

Setiap ada masyarakat, maka hukum pada daerah atau tempat itupun akan sellau ada. Seperti layaknya ada gula ada semut. Selain itu karena sifat dan ciri manusia sebagai zoon politicon, artinya mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia yang lain. Karena itu diperlukan suatu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut dengan norma. Dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna agar tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, memberi petunjuk bagaimana cara berperilaku dalam masyarakat.
sumber hukum dalam arti material, yaitu: suatu keyakinan/ perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Kebiasaan (custom) adalah: semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum.
Bertolak dari semua itu terdapat satu hal penting yang perlu (harus) disadari sebagai suatu persoalan tersendiri atas asumsi dasar mengenai dalil “law is a tool of social enginereeng“, bahwa menurut von Savigny (dalam Soetandyo), sesungguhnya hukum itu tidak pernah bisa dibuat berdasarkan rasionalitas pikiran manusia yang disengaja. Hukum sesungguhnya selalu berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu penyikapan selanjutnya adalah bagaimana sesungguhnya “law is a tool of social engineering” harus kita tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigma rule of law

DAFTAR PUSTAKA
Anwar Yesmil, Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. Bandung. 2008: PT Grasindo.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta. 1980. PT Raja Grafindo Persada.
http://www.denyrendra.net/search/fungsi-hukum-adalah-law-is-tool-social-engineering. (diakses pada 19 April 2011)
http://mengerjakantugas.blogspot.com/2010/10/sumber-hukum-material-dan-formal.html. (diakses pada 19 April 2011)

jenis jenis perundang undangan


BAB V
JENIS-JENIS PERUNDANG-UNDANGAN

A. Jenis Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 jenis-jenis Peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
a) Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat
1. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
2. Peraturan Pemerintah
3. Keputusan Presiden
4. Keputusan Menteri
5. Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen
6. Keputusan Direktur Jenderal Departemen
7. Keputusan Kepala Badan Negara
b) Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
1. Peraturan Daerah Tingkat I
2. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk.I
3. Peraturan Daerah Tingkat II
4. Keputusan Bupati/ Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II.
Sedangkan berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000, jenis peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia :
a) Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat :
1. Undang-undang
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah
4. Keputusan Presiden, yang bersifat mengatur
5. Peraturan Daerah
b) Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
1. Peraturan daerah Propinsi
2. Peraturn Daerah Kabupaten/ Kota
3. Peraturan Daerah atau setingkat, yang dibuat oleh Lembaga Perwakilan Desa
Selain jenis perundang-undangan tersebut di atas , sesuai penjelasan pasal 7 ayat 4 yakni peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat ;
2. Mahkamah Agung ;
3. Mahkamah Konstitusi ;
4. Badan Pemeriksa Keuangan ;
5. Gubernur Bank Indonesia ;
6. Menteri dll

Peraturan Perundangan Tingkat Pusat :
1. Dalam pembetukannya harus mendapat persetujuan DPR (pasal 20 ayat (2) amandemen UUD 1945 apabila Rancangan datang dari Pemerintah ( pasal 5 ayat (1) amandemen UUD 1945 namun DPR juga berhak membentuk UU (pasal 20 ayat (1) amandemen UUD 1945 dengan mendapat persetujuan Presiden
2. Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah terdiri dari: Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

Peraturan Daerah terdiri dari:
1. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD
2. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/ kota dan tugas pembantuan ;
3. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerh ;
4. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
5. Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia kita mengenal banyak jenis peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan yang mempunyai wewenang membuat perundang-undangan.
Meskipun telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, yang mencantumkan tata urutan peraturan perundangan, namun dalam praktik kita mengenal jenis peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a) Perundang-undangan di Pusat.
1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR (S)
2. Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Keputusan Menteri
7. Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen
8. Keputusan Direktur Jenderal Departemen
9. Keputusan Kepala Badan Negara
b) Perundang-undangan di Daerah
1. Peraturan Daerah Provinsi
2. Keputusan Gubernur
3. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
4. Keputusan Bupati/Walikota
5. Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa

B. Jenis-Jenis Peraturan Dari Zaman Hindia Belanda
Jenis-jenis peraturan perundang-undangan dari zaman Hindia Belanda ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Peralihan Pasal II dari UUD 1945 yang berbunyi : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih tetap masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”
Jenis peraturan perundang-undangan sisa zaman Hindia Belandayang kini masih ada dan masih berlaku adalah :
1. Wet .
Wet merupakan suau peraturan perundang-undangan yang dibentuk di Negeri Belanda, oleh Regering dan Staten General bersama-sama (gezamelijk) dengan nasihat (advise) dari Raad van State. Wet ini berlaku untuk wilayah Belanda dan Hindia Belanda.
Dari beberapa wet yang masih berlaku di Negara kita sampai saat ini misalnya Wetboek van Strafrecht yang diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Pidana. Wetboek van Koophandel yang diterjemahkan dengan itab Undang-Undang Hukum Dagang, ataupun Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Algemene Maatregel van Bestur (AMvB)
Algemene Matregel van Bestuur (AMvB) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Kroon (Raja) dan Menteri-menteri serta mendapatkan nasihat (advise) dari Raad van State . Peraturan perundang-undangan ini berlaku untuk Negeri Belanda dan Hindia Belanda tetapi dibentuk di Belanda. Algemene Maatregel van Bestuur ini adalah peraturan yang disetingkatkan dengan Undang-Undang
3. Ordonantie
Ordonantie adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Goeverneur General (Gubernur Jenderal) dan Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta dan berlaku bagi Wilayah Hindia Belanda. Bagi Ordonantie yang masih berlaku di Indonesia kedudukannya disetingkatkan dengan Undang-undang
4. Regeringsverordering (Rv)
Regeringsverordering adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Gouverneur General di Jakarta, dan berlaku di wilayah Hindia Belanda Regeringsverordering ini merupakan peraturan pelaksanaan bagi Wet, Algemene Maatregel van Bestuur, dan Ordonantie.
Regeringsverordering merupakan suatu peraturan yang disetingkatkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan bentuk-bentuk peraturan perundangan pusat sebelum dan setelah dekrit presiden 5 juli 1959 adalah sebagai berikut:
1. Masa sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Bentuk peraturan perundang-undangan yang terdapat penyebutannya di dalam Undang-Undang Dasar sebagai berikut :
a. Masa berlakunya Undang-Undang Dasar sementara.
Bentuk-bentuk peraturan yang dapat dikeluarkan oleh penguasa pada masa UUDS ialah:
1) Undang-undang, yaitu bentuk peraturan atau ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pasal 89 UUDS ;
2) Undang-undang Darurat, yaitu suatu bentuk peraturan yang dibuat oleh Pemerintah sendiri dalam hal ikhwal yang mendesak, berdasarkan pasal 96 UUDS ;
3) Peraturan Pemerintah, yaitu suatu bentuk peraturan yang dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan lebih lanjut.

b. Masa berlakunya Konstitusi RIS
Sebelum masa berlakunya UUDS, dapat pula disebutkan masa berlakunya Konstitusi RIS, adapun bentuk-bentuk peraturan perundangannya sbb.
1) Undang-undang Federal
Undang-undang Federal adalah bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Negara Federal yang terdiri dari
a. Undang-undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan akyat Federal dan senat, sekedar hal itu mengenai peraturan-peraturan tentang hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian aau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal 2 Konstitusi RIS
b. Undang-undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah bersma-sama Dewan Perwakilan Rakyat Federal. Undang-undang ini mengatur persoalan-persoalan selebihnya (pasal 127 b Konstitusi RIS)
c. Peraturan Pemerintah Federal ialah peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah, untuk melaksanakan undang-undang (pasal 141 Konstitus RIS.
2) Undang-undang Darurat Federal ialah perauran atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah sendiri dalam hal ikhwal yang mendesak, hal mana didasrkan pada pasal 139 Konstitusi RIS.

c. Masa berlakunya Undang-undang Dasar 1945 (1945-1950).
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, bentuk-bentuk peraturan perundangannya yang dikeluarkan oleh pusat berupa:
a. Undang-undang, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam hal ikhwal yang mendesak ;
c. Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan yang dibuat oleh Presiden sendiri untuk melaksanakan Undang-undang.
2. Masa sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sesudah Dekrit 5 Juli 1959 berarti kembali berlaku Undang-undang Dasar 1945, sebab Dekrit 5 Juli 1959 ialah merupakan sumber hukum bagi berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Keputusan Presiden
f. Peraturan Pelaksanaan lainnya.

Previous Older Entries